Rasanya jalanan ibukota sedang
begitu bersahabat beberapa hari belakangan ini. Mungkin karena hari kemerdekaan
Indonesia tahun ini jatuh pada hari Rabu esok, jadi banyak yang memilih
berlibur ke luar kota sejak akhir pekan minggu lalu; termasuk anakku sendiri.
Ia berangkat ke Malang bersama teman-teman kuliahnya dan baru akan kembali
lusa.
Sebenarnya aku sedikit khawatir.
Kalian pasti mengerti ‘kan bagaimana pergaulan remaja saat ini? Bukannya aku
kolot, tapi aku justru lebih tahu pola pikir anak muda karena aku pernah sekali
mengalaminya. Terutama rasa penasaran mereka. Maksudku, rasa penasaran bisa
membimbing siapapun ke arah yang buruk. Apalagi tanpa pengawasan orang terdekat
mereka.
Aku yakin aku sudah mencoba
mendidik anakku sebaik mungkin, dan memang Tommy selama ini cukup cemerlang
dalam pendidikannya. Sepengetahuanku, ia juga cukup disegani oleh teman-teman
sebayanya. Ia bahkan ditunjuk menjadi seorang duta remaja oleh dinas setempat.
Ah, apa aku yang terlalu berlebihan sebagai seorang ayah? Padahal ia sudah
dewasa, tapi kadang aku masih sering mengekangnya seperti anak sekolah dasar.
Dulu ketika aku seumuran dengan
anakku saat ini, ayahku sering melarangku untuk pulang malam dengan berbagai
macam alasan. Rasanya masih sangat segar di ingatanku ketika ayah mengacungkan
jarinya agar aku mendengarkan peringatannya untuk pulang sebelum jam sepuluh
malam. Aku bahkan ingat alur bicara ayah ketika menasihatiku di pagi berikutnya
jika aku pulang terlalu larut. Beliau sering menyelipkan cerita dan
pengalamannya agar aku mengerti semua larangannya─bahwa semuanya demi
keamananku. Aku tentu hanya mengangguk.
Hingga pada akhirnya, aku mulai
merasakannya sendiri seiring dengan bertambah dewasanya Tommy. Aku terkadang malah
menjadi merasa serba salah. Aku hanya tak ingin anakku satu-satunya mengambil
arah yang tidak seharusnya diambil, tapi di sisi lain aku juga tahu bagaimana
menjengkelkannya jika orang tua terlalu membatasi ruang gerak anaknya.
Aku bukannya mau balas dendam
atas perlakuan ayahku kepada anakku sendiri, hal itu tak akan pernah terjadi.
Aku sangat mencintai Tommy. Namun aku hanya takut ia terjebak dalam pergaulan
yang buruk. Bayangkan saja bagaimana minuman beralkohol mudah sekali didapat
pada masa sekarang ini dan bagaimana seks bebas bahkan sudah menjadi budaya
bagi golongan tertentu.
Untung saja ada aroma biskuit
yang menyebar di seluruh ruang kabin mobil. Ini adalah aroma kesukaan istriku,
walau kuakui aku juga menyukainya. Wanginya sangat menenangkan. Bisa dibilang
aroma ini adalah jimat bagi kepalaku yang kadang kesurupan dan memikirkan
hal-hal aneh. Apalagi bagi orang-orang di kota besar yang menghabiskan sebagian
waktunya di jalan sendirian karena macet.
Ah, itu dia! Taman kanak-kanak
Al-Huda, tempat istriku memuaskan hobinya; mengajar. Terasnya cukup ramai
dipenuhi oleh para orang tua murid yang sedang menjemput anak mereka. Sedangkan
di dalam ruang kelas terlihat istriku Andin masih semangat berkeliling kelas sambil
mengontrol para balita yang masih menggambar. Maklum, ini sudah jam 10 dan
kelas akan selesai setengah jam lagi.
Aku baru sadar bahwa ada sebuah
kafe di ujung jalan tak jauh dari tempatku berdiri. Cat dinding dan jendela
kayunya yang masih mengkilap seakan menandakan bahwa tempat tersebut baru saja
dibuka. Cukup aneh sebenarnya, karena walau aku baru sebulan pindah harusnya
aku tahu jika ada tempat seperti itu di daerah sini.
Saat kulihat jam tangan, kupikir
sekedar minum segelas kopi dan sepotong kue di sana tak akan memakan waktu yang
lama, jadi aku putuskan untuk berjalan ke kafe tersebut. Tempat itu sendiri
terlihat memiliki tema arsitektur tradisional. Begitu aku memasuki daerah
terasnya, nuansa Betawi terasa cukup kental dengan kursi dan pagar kayu kokohnya
yang dicat cokelat, kontras dengan dindingnya yang putih bersih. Dua tiang penyangga
atap menambah kesan gagah pada bangunan ini. Di langit-langitnya terdapat dua
kipas angin besar yang berputar pelan. Cuma
hiasan, pikirku.
Bagian dalamnya justru lebih
menarik lagi. Ada beberapa lukisan besar yang bingkainya didesain seperti motif
batik mega mendung. Kebanyakan lukisan yang hanya menggambarkan suasana alam
yang hijau, kecuali lukisan Nyi Roro Kidul di dekat pintu masuk ini. Lukisannya
terlihat sangat nyata. Ditambah adanya suara air terjun dari speaker kecil di atasnya menambah kesan
hidup pada lukisan tersebut.
Mataku pun tertuju pada suatu
bangku besar bak singgasana raja yang diletakkan di ujung sana. Tempatnya tak
lagi beratap karena sepertinya berada di halaman belakang kafe. Lantainya pun
berganti dengan rumput hijau. Tampak juga air mancur berukuran sedang di
tengah-tengah area berumput yang berkilau memantulkan cahaya matahari. Ketika
kududuki, bangkunya cukup keras karena bokongku langsung bersentuhan dengan
kayu jati. Namun entah kenapa terasa begitu nyaman. Apa mungkin karena aku
mencium sedikit wangi lavender di sini?
Saat aku mulai memfokuskan diriku
dari hal-hal menarik ini, aku baru sadar bahwa aku adalah satu-satunya
pengunjung. Tempat ini terlalu sunyi bahkan untuk sebuah kafe yang baru dibuka.
Meja resepsionis pun kosong dan hanya terdapat beberapa alat tulis dan alat
pembayaran elektronik. Aku malah sedikit merinding ketika angin sejuk yang
lewat seperti mendesis di telingaku. Kakiku pun malah terasa basah seperti
tidak ada sepatu di sana.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?”
Tiba-tiba saja seorang lelaki
muda berada di sampingku sambil memegang sebuah catatan kecil dan buku menu
yang langsung ia letakkan di atas meja. Ia tersenyum sambil melihatku. Ia
benar-benar menunggu berdiri di sana seperti mendesakku untuk segera membuka
menu dan memesan makanan. Aku pun menjadi canggung sendiri. Senyumnya terlihat
tulus namun malah membuatku tak nyaman.
Menu yang ditampilkan pun lebih
tak masuk akal. Hanya ada kopi Lombok yang ditulis besar─membuatku mau tak mau
memesan satu-satunya menu yang tersedia. Pelayan itu mengangguk sambil menulis
pesananku. Aku hanya menyernyit dibuatnya. Apa lagi yang ia catat?
“Tak akan lama,” ucapnya sambil
mengambil menu yang sudah tertutup. “Terlambat satu atau dua menit tidak akan
membuat istrimu marah.”
Aku terkejut. Pupil mataku
otomatis membesar melihat pelayan itu terus berjalan dan hilang di balik pintu.
Mulutku hampir terbuka lebar tak mengerti apa yang terjadi. Rasanya jantungku
baru saja jatuh ke lambung. Semua yang terjadi hanyalah aku masuk ke ruangan
ini tanpa sepatah katapun lalu pria itu secara spontan ada di sebelahku
membawakan buku menu. Lalu bagaimana ia tahu bahwa aku sedang menunggu istriku?
Jujur saja, aku benar-benar merinding sekarang. Apalagi dengan kesunyian yang
tidak wajar ini. Aku baru saja beranjak dan berniat meninggalkan tempat ini
ketika angin kencang berhembus dan mendorongku kembali ke kursi.
“JANGAAAANN!!!”
Sebuah jeritan terdengar
melengking entah dari mana asalnya. Aku kontan menoleh ke segala arah untuk
mencari sumber suara tersebut. Suaranya diikuti dengan isak tangis yang semakin
jelas. Lama kelamaan muncul suara lain yang membuatku lebih merasa seperti di
pasar daripada di sebuah kafe asing yang sepi pelanggan. Ramai sekali. Rasa
takut semakin menjalar ke ubun-ubun. Manusia mana yang tidak ketakutan ketika
mendengar suara-suara bersautan tanpa ada seorangpun di sekelilingnya.
“Makanya, cobain!”
Suatu suara semakin jelas. Tetapi
tidak ada jawaban, hanya tangisan. Kupingku tiba-tiba saja terasa panas.
Kepalaku sakit. Aku mengenal suara ini─atau lebih tepatnya, aku membencinya.
Aku tidak mungkin lupa pada suara yang mengancamku dengan keji. Suara dari
seseorang yang pernah menghancurkan masa mudaku.
Semuanya pun kembali senyap.
Hanya suara motor yang baru saja lewat di belakang dinding. Pelayan itu pun
sudah kembali dan berada di sebelahku. Ia seakan menungguku untuk menoleh dan
melihat senyumnya lagi agar ia meletakkan pesanannya. Rasanya aku ingin
bertanya soal bagaimana ia tahu tentang istriku, tetapi mungkin keluar dari
tempat ini adalah pilihan yang terbaik.
Pelayan itu menepuk bahuku.
“Minumlah, kau akan mengerti.”
Seperti dihipnotis, aku
menurutinya begitu saja dan menyeruput kopi pahit tersebut tanpa menabur
gulanya. Kepalaku malah terasa melayang sekarang. Pandanganku mulai kabur.
Deretan meja dan kursi kayu yang berwarna monoton itu tampak berubah menjadi
bangku-bangku plastik usang berwarna jingga dan sebuah meja panjang yang catnya
sudah berantakan.
Sedetik kemudian mataku kembali
jelas. Aku berada di tempat lain, pastinya bukan kafe itu lagi. Di sebelah
kananku banyak bilik-bilik warung yang hanya dibatasi oleh anyaman, namun tak
ada satupun penjual yang biasanya menjajakan beragam jenis gorengan dan makanan
kecil lain. Hanya ada sekelompok anak sekolah yang pakaiannya sudah berantakan.
Mereka mengelilingi seseorang. Salah satu dari mereka mengikat tangan orang
tersebut agar ia tidak lari, sedangkan seseorang di depannya tampak sedang
bersiap untuk melempar sebuah sepatu ke dalam tong yang penuh dengan nyala api.
Aku ingat kejadian ini. Aku
mengenal semua orang yang ada di sini. Aku kenal anak yang terikat tak berdaya
itu, Ya, dia adalah aku sendiri. Aku menggigit lidahku sendiri melihat reka
ulang kejadian ini. Sedangkan pelayan itu masih di sana, ikut menontoni masa
laluku yang sedang diperlakukan tidak manusiawi.
Aku menutup telingaku, tak kuat
dengan berbagai caci maki dan kata-kata kotor yang mereka lontarkan sambil
menyodoriku rokok linting yang berisi ganja. Aku tak mau, aku tetap menolaknya
walau mereka sudah memukulku berkali-kali. Akhirnya mereka jengah dan membawaku
ke luar area kantin.
“Apa-apaan ini?!” Tanyaku
setengah membentak dan membanting meja. Tanganku gemetar. Pelayan itu masih
dengan senyum yang sekarang kuyakin dibuat-buat itu.
“Saya hanya ingin membantu anda.”
Jawabnya singkat namun tak menjawab pertanyaanku.
“Tolong kembalikan saya ke kafe yang
tadi. Saya harus menjemput istri saya.”
Namun ia tak menjawab lagi. Aku
mencoba bangkit namun tidak bisa seperti ada yang menahan kakiku di lantai.
Sedetik kemudian mejaku bergetar hebat sampai-sampai kopinya hampir tumpah jika
saja aku tidak mengangkatnya.
“Minumlah, Pak. Tenangkan diri
anda.”
Aku semakin kesal dibuatnya. Baru
saja aku berniat untuk membentaknya lagi, tiba-tiba rasanya seperti ada yang
mendorongku serta meja dan bangku yang kududuki dengan kekuatan yang amat
besar. Aku merasa seperti terperosok ke jurang yang amat dalam. Tak sampai
kedipan mata, aku sudah berada di rumahku yang dulu. Sebuah bangunan kecil yang
dindingnya tidak bercat lagi. Hanya bata-bata yang terlihat mulai rapuh,
dihimpit oleh rumah lain di sisi kanan dan kirinya. Gelap.
Jam di tanganku menunjukkan bahwa
aku sudah lima belas menit berada di masa laluku sendiri. Sunyi. Sempat tidak
ada suatu suara pun hingga terdengar sebuah hentakkan kaki dari ujung gang.
Seorang anak dengan pakaian sekolah yang amat lusuh berjalan hampir seperti
menyeret sepatunya sendiri. Ia tampak amat kelelahan─dan putus asa.
Aku masih ingat ketika aku dibawa
ke sebuah gudang di bawah tangga oleh murid-murid berandal. Aku memang berhasil
menolak lintingan ganja mereka dan sepatuku dilemparkan kembali padaku. Tapi
setelah itu aku di bawa ke aula belakang sekolah dan aku dikunci sendirian di
sana. Tak ada cahaya sama sekali. Tak ada harapan. Jika bisa memilih mungkin
lebih baik aku mati daripada ketakutan seperti ini.
Di dalam kehampaan itu, aku
mendengar benturan benda keras dan tiang listrik yang menggema. Aku hanya bisa
menggedor-gedor pintu kayu yang menghalangiku untuk keluar, berharap yang
barusan adalah manusia dan ia mau menolongku. Benar saja, ternyata ia adalah
petugas keamanan yang sedang berkeliling. Aku terselamatkan.
Anak lusuh yang tadi mengetuk
pintu rumahnya. Sempat tidak ada yang menjawab karena lampu ruangan juga sudah
padam. Anak itu mengetuk lagi, tapi kali ini lebih pelan. Tak lama kemudian
terdengar suara kunci terbuka dari dalam. Seorang wanita yang sudah berumur
namun masih tetap cantik dan belum beruban membuka pintunya sedikit, lalu
mempersilakan anak itu untuk masuk.
Pelayan di sampingku memegang
pundakku seperti menawarkanku untuk ikut melihat kelanjutannya di dalam. Aku
hanya memberi tanda menolak dengan tangaku. Ia tak mengambil tindakan egois
kali ini. Setidaknya ia tidak mendorongku seenaknya lagi. Bagus lah.
Aku menungu di luar. Suasana pun kembali
sunyi hingga lampu rumah tiba-tiba terang. Ada lagi yang terbangun. Itu adalah
ayahnya. Aku tahu persis apa yang terjadi di dalam. Ayahnya marah besar. Tidak
ada yang ingat jam berapa tepatnya anak itu sampai di rumah. Beliau menuduh
anaknya terlibat dalam aktifitas jahat. Anaknya tak bisa mengelak. Penampilannya
memang seperti baru saja kalah dari tawuran pelajar. Selain itu, ia tak mungkin
mengadu. Pasti akan ada insiden kedua jika ia berani buka mulut.
Plakk!! Suara tamparan terdengar
cukup keras. Aku juga baru sadar jika suara itu dapat terdengar sampai ke luar
rumah. Cukup sakit untuk diingat, bahkan tanpa sadar aku meraba pipi kiriku
walau sudah tak ada bekas di sana. Lama aku terdiam sendiri meratapinya hingga
pelayan itu mendorong kursiku hingga meluncur menembus pintu dan masuk tepat di
depan kasur anak yang barusan. Aku tahu ia masih menangis. Nafasnya belum
beraturan. Ia tahu kejadian ini hanyalah salah paham antara dirinya dan
ayahnya, namun ia tetap merasa sakit hati karena orang tuanya tak percaya.
Padahal selama ini ia sudah menunjukkan baktinya.
“Siapa namamu?” tanyaku ketika
pelayan itu masuk dan berdiri lagi di sampingku.
“Aku Leo. Aku bertugas menghilangkan
dendam dan penyesalan dalam hati manusia.”
“Apa kau melakukannya pada semua
orang?”
“Tidak juga.” Matanya kembali
beralih ke tempat tidur. Anak itu berbalik menghadap ke arah kami. Ia sudah
terlelap, namun air matanya belum kering. Ada raut kelelahan, ketakutan, juga
kekecewaan. Sepertinya tidur memang satu-satunya hal yang ia butuhkan untuk
bisa lari dari kenyataan.
Tiba-tiba ayahnya datang. Ia
berdiri persis di depanku, menatapi anaknya dari jauh. Beberapa detik kemudian
ia duduk di samping ranjang anaknya, mengelap wajahnya yang kotor dan penuh
memar. Aku sempat tak percaya dengan apa yang kulihat; sebuah potongan kejadian
yang tidak pernah kusaksikan. Ayahnya menangis di sana, sedikit sesegukan namun
tidak bersuara. Sedangkan ibunya hanya melihatnya dari daun pintu.
“Maafkan ayah, Rio.” Ucapnya
dengan nafas tak beraturan. “Ayah menyesal dengan perlakuan ayah barusan.
Maafkan ayah yang sudah menjadikan kamu pelampiasan kelelahan dan kemarahan
ayah. Kamu anak baik, Rio. Kamu pantas mendapatkan segala hal yang lebih baik,
maafkan ayah yang tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anak terbaik ayah.
Maafkan ayah yang tanpa sadar sering menuntut ketaatan lebih darimu. Maafkan
ayah yang sering mengekangmu, melarangmu melakukan banyak hal di masa mudamu
yang hanya sekali. Itu semua ayah lakukan agar kamu dapat memiliki kehidupan
yang jauh lebih baik. Agar kamu tidak salah dalam bertindak dan mengambil
keputusan. Agar kamu selalu dalam lindungan-Nya. Terima kasih atas kasih
sayangmu kepada ayah dan ibu, Rio. Kami dapat merasakannya Semoga Tuhan
membalas baktimu. Semoga ayah dan ibu dapat terus membahagiakanmu juga.”
Ayahnya memeluk Rio yang
kesadarannya sudah berada di alam mimpi. Ibunya hanya dapat ikut menangis haru
dari kejauhan. Dadaku pun rasanya ikut sesak. Air mata ikut menggedor ujung-ujung
kelopak mataku. Kasih sayang mereka selama puluhan tahun terakhir yang kuabaikan
hanya karena kejadian malam ini rasanya berbondong-bondong membuat hatiku sesak
oleh kebahagiaan.
Aku semakin menangis ketika aku
melihat potongan kenangan lain ketika ayahku pulang membawa sebungkus besar
kopi setelah ia pulang dari pekerjaannya selama 2 tahun di Lombok. Beliau
terlihat sangat senang karena dapat memberikanku oleh-oleh yang banyak dari
tempat yang jauh. Namun aku hanya tersenyum kecil hampir tak peduli. Bahkan
ketika ia menyeduh 2 gelas kopi untuk kami berdua, aku tak pernah menghabiskan
bagianku. Hatiku sedikit sakit melihatnya, aku menyesal. Aku rindu ayahku.
Leo mengelus pelan punggungku.
“Minumlah, Pak Rio. Itu adalah kopi yang diberikan oleh ayah anda dulu.
Rasakanlah. Nikmatilah. Hilangkan penyesalan anda. Lepas sekat yang membatasi
hati anda dan mereka. Sayangi kembali kedua orang tua anda. Sayangi ayah anda.
Penuhi kembali hati anda dengan ketaatan. Temuilah, dan doakan keduanya.”
Aku tertegun mendengar
penjelasannya. Aku meminum kopiku yang masih penuh. Namun kali ini rasanya
manis; sangat manis walau aku belum sedikitpun menambahkan gula. Kopi yang
dibauri cinta yang tertahan selama bertahun-tahun. Kopi yang menggantikan
amarah dengan kasih sayang.
Aku memejamkan mataku, merasakan
nikmat tak terlihat di tenggorokanku, memenuhi kepalaku dengan berbagai memori
indah yang kulewatkan, menyelimutiku dalam perasaan yang hangat dan nyaman. Aku
pun membuka mataku dan aku sudah berada di depan sebuah minimarket. Bangku dan
meja kayu bernuansa mewah tadi berganti dengan bangku besi. Namun kebahagiaan
itu masih tertinggal. Semuanya terasa begitu nyata.
Andin melambai dari sebrang jalan
sambil tersenyum ke arahku. Aku membalas lambaiannya dan bangkit dari kursiku.
Tapi cangkir dan kopinya yang sudah habis masih di sana; di atas meja. Aku
mengeluarkan pulpen dari saku dan secarik kertas sebelum pergi. Terima kasih atas kopi dan tur penuh
keharuannya, Leo, tulisku.
**Blog post ini dibuat
dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan
oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com