Aloha, Everyone!!
Sorry for (again) leaving you with no post!
(Who cares, anyway? Lol)
It'd been sooo busy!
Kemaren-kemaren emang kebetulan gua lagi sibuk banget; kerja, kuliah, main game, and repeat.
Tapi sekarang sudah agak luang, jadi gua bisa bikin post lagi di sini.
Post kali ini bakal cukup singkat, karena gua cuma mau sharing tentang apa aja yang baru-baru ini gua lakuin dan yaaaaaa berpengaruh cukup besar di kehidupan gua. So here it is...
Dulu gua suka banget sama yang namanya main game! Bahkan saking sukanya, sampe lupa waktu; lupa deadline kantor, lupa deadline tugas kampus, lupa makan, lupa tidur, untung gak sampe lupa rumah. Bisa-bisa gua nyasar ke beverly hills ntar wkwkwk
Bahkan gua sampai gak tau isu-isu lingkungan dan politik yang terjadi di negara ini. Kalo diajak ngobrol, bisanya cuma manggut-manggut sama pura-pura ketawa biar dikira ngerti, padahal gak nyambung! Dimulai dari tragedi menyedihkan ini, akhirnya gua memutuskan untuk berhenti main game dan fokus di hal-hal lain di masa muda yang singkat.
Sekedar info, waktu itu gua lagi main Final Fantasy Brave Exvius dan Final Fantasy Record Keeper, game yang bagus banget buat kawan-kawan yang cinta mati dengan serial Final Fantasy.
Dan... hasilnya ketika gua berenti main game?
Waktu gua tersisa banyak banget!
Gua jadi bisa lebih fokus dengan deadline kantor.
Gua bisa kelarin tugas kuliah sebelum deadline.
Gua bisa aktif di sosmed untuk cari berita-berita penting.
Pokoknya gua gak kudet lagi jadinya!
Bahkan sekarang, gua udah bisa baca novel lagi.
Mulai bisa coba-coba nulis lagi.
Mulai garap blog gua lagi yang sempet nganggur selama tiga tahun.
Intinya, hidup terasa lebih bermakna dan nikmat kalo kita bisa memanfaatkannya dengan hal-hal yang lebih positif, gaes!
Yang perlu kita semua inget, waktu gak bisa diulang.
Dan penyesalan selalu datang di akhir.
Buat yang penasaran, ini dia blog gua yang satu lagi: Small Notes.
Blognya terbilang baru, dan ceritanya masih dari cerpen-cerpen yang gua bikin dulu. Tapi nanti secepatnya bakal diisi dengan cerpen-cerpen baru kok!
Gua juga sering bikin quotes di akun instagram; check this out!
Semua orang tentu butuh motivasi dong? Begitu juga gua pribadi. Jadi gua sering memotivasi diri gua sendiri sekalian sharing, who knows that my words will reach your heart to the deepest and drive you to feel better and live happier.
Ngomong-ngomong, udah pada bikin resolusi untuk tahun 2017 belom?
Buat yang belom tau, resolusi itu semacem target jangka pendek tentang apa-apa aja yang mau kita capai dalam kurun waktu satu tahun ke depan. Hal-hal yang simpel tapi bermanfaat udah cukup kok; kayak mau bikin novel, atau mau bikin band, atau malah, mau menangin suatu lomba? Masukin itu semua di resolusi lo untuk tahun mendatang, dan usaha mati-matian untuk menggapainya!;)
Gua sendiri udah buat loh. Totalnya ada enam resolusi;)
Mungkin gak bakal tercapai semua sih, tapi seenggaknya tiga di antaranya harus bisa digapai! Semangat aja dulu hehe
Buat yang belom bikin, yuk bikin dari sekarang!
Mari buat perubahan, mari terus berkembang ke arah yang lebih positif!
Every single day is a gift, be grateful for it by living to the fullest...
26 December, 2016
21 August, 2016
Sayang yang Terlewat
**Blog post ini dibuat
dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan
oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Rasanya jalanan ibukota sedang
begitu bersahabat beberapa hari belakangan ini. Mungkin karena hari kemerdekaan
Indonesia tahun ini jatuh pada hari Rabu esok, jadi banyak yang memilih
berlibur ke luar kota sejak akhir pekan minggu lalu; termasuk anakku sendiri.
Ia berangkat ke Malang bersama teman-teman kuliahnya dan baru akan kembali
lusa.
Sebenarnya aku sedikit khawatir.
Kalian pasti mengerti ‘kan bagaimana pergaulan remaja saat ini? Bukannya aku
kolot, tapi aku justru lebih tahu pola pikir anak muda karena aku pernah sekali
mengalaminya. Terutama rasa penasaran mereka. Maksudku, rasa penasaran bisa
membimbing siapapun ke arah yang buruk. Apalagi tanpa pengawasan orang terdekat
mereka.
Aku yakin aku sudah mencoba
mendidik anakku sebaik mungkin, dan memang Tommy selama ini cukup cemerlang
dalam pendidikannya. Sepengetahuanku, ia juga cukup disegani oleh teman-teman
sebayanya. Ia bahkan ditunjuk menjadi seorang duta remaja oleh dinas setempat.
Ah, apa aku yang terlalu berlebihan sebagai seorang ayah? Padahal ia sudah
dewasa, tapi kadang aku masih sering mengekangnya seperti anak sekolah dasar.
Dulu ketika aku seumuran dengan
anakku saat ini, ayahku sering melarangku untuk pulang malam dengan berbagai
macam alasan. Rasanya masih sangat segar di ingatanku ketika ayah mengacungkan
jarinya agar aku mendengarkan peringatannya untuk pulang sebelum jam sepuluh
malam. Aku bahkan ingat alur bicara ayah ketika menasihatiku di pagi berikutnya
jika aku pulang terlalu larut. Beliau sering menyelipkan cerita dan
pengalamannya agar aku mengerti semua larangannya─bahwa semuanya demi
keamananku. Aku tentu hanya mengangguk.
Hingga pada akhirnya, aku mulai
merasakannya sendiri seiring dengan bertambah dewasanya Tommy. Aku terkadang malah
menjadi merasa serba salah. Aku hanya tak ingin anakku satu-satunya mengambil
arah yang tidak seharusnya diambil, tapi di sisi lain aku juga tahu bagaimana
menjengkelkannya jika orang tua terlalu membatasi ruang gerak anaknya.
Aku bukannya mau balas dendam
atas perlakuan ayahku kepada anakku sendiri, hal itu tak akan pernah terjadi.
Aku sangat mencintai Tommy. Namun aku hanya takut ia terjebak dalam pergaulan
yang buruk. Bayangkan saja bagaimana minuman beralkohol mudah sekali didapat
pada masa sekarang ini dan bagaimana seks bebas bahkan sudah menjadi budaya
bagi golongan tertentu.
Untung saja ada aroma biskuit
yang menyebar di seluruh ruang kabin mobil. Ini adalah aroma kesukaan istriku,
walau kuakui aku juga menyukainya. Wanginya sangat menenangkan. Bisa dibilang
aroma ini adalah jimat bagi kepalaku yang kadang kesurupan dan memikirkan
hal-hal aneh. Apalagi bagi orang-orang di kota besar yang menghabiskan sebagian
waktunya di jalan sendirian karena macet.
Ah, itu dia! Taman kanak-kanak
Al-Huda, tempat istriku memuaskan hobinya; mengajar. Terasnya cukup ramai
dipenuhi oleh para orang tua murid yang sedang menjemput anak mereka. Sedangkan
di dalam ruang kelas terlihat istriku Andin masih semangat berkeliling kelas sambil
mengontrol para balita yang masih menggambar. Maklum, ini sudah jam 10 dan
kelas akan selesai setengah jam lagi.
Aku baru sadar bahwa ada sebuah
kafe di ujung jalan tak jauh dari tempatku berdiri. Cat dinding dan jendela
kayunya yang masih mengkilap seakan menandakan bahwa tempat tersebut baru saja
dibuka. Cukup aneh sebenarnya, karena walau aku baru sebulan pindah harusnya
aku tahu jika ada tempat seperti itu di daerah sini.
Saat kulihat jam tangan, kupikir
sekedar minum segelas kopi dan sepotong kue di sana tak akan memakan waktu yang
lama, jadi aku putuskan untuk berjalan ke kafe tersebut. Tempat itu sendiri
terlihat memiliki tema arsitektur tradisional. Begitu aku memasuki daerah
terasnya, nuansa Betawi terasa cukup kental dengan kursi dan pagar kayu kokohnya
yang dicat cokelat, kontras dengan dindingnya yang putih bersih. Dua tiang penyangga
atap menambah kesan gagah pada bangunan ini. Di langit-langitnya terdapat dua
kipas angin besar yang berputar pelan. Cuma
hiasan, pikirku.
Bagian dalamnya justru lebih
menarik lagi. Ada beberapa lukisan besar yang bingkainya didesain seperti motif
batik mega mendung. Kebanyakan lukisan yang hanya menggambarkan suasana alam
yang hijau, kecuali lukisan Nyi Roro Kidul di dekat pintu masuk ini. Lukisannya
terlihat sangat nyata. Ditambah adanya suara air terjun dari speaker kecil di atasnya menambah kesan
hidup pada lukisan tersebut.
Mataku pun tertuju pada suatu
bangku besar bak singgasana raja yang diletakkan di ujung sana. Tempatnya tak
lagi beratap karena sepertinya berada di halaman belakang kafe. Lantainya pun
berganti dengan rumput hijau. Tampak juga air mancur berukuran sedang di
tengah-tengah area berumput yang berkilau memantulkan cahaya matahari. Ketika
kududuki, bangkunya cukup keras karena bokongku langsung bersentuhan dengan
kayu jati. Namun entah kenapa terasa begitu nyaman. Apa mungkin karena aku
mencium sedikit wangi lavender di sini?
Saat aku mulai memfokuskan diriku
dari hal-hal menarik ini, aku baru sadar bahwa aku adalah satu-satunya
pengunjung. Tempat ini terlalu sunyi bahkan untuk sebuah kafe yang baru dibuka.
Meja resepsionis pun kosong dan hanya terdapat beberapa alat tulis dan alat
pembayaran elektronik. Aku malah sedikit merinding ketika angin sejuk yang
lewat seperti mendesis di telingaku. Kakiku pun malah terasa basah seperti
tidak ada sepatu di sana.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?”
Tiba-tiba saja seorang lelaki
muda berada di sampingku sambil memegang sebuah catatan kecil dan buku menu
yang langsung ia letakkan di atas meja. Ia tersenyum sambil melihatku. Ia
benar-benar menunggu berdiri di sana seperti mendesakku untuk segera membuka
menu dan memesan makanan. Aku pun menjadi canggung sendiri. Senyumnya terlihat
tulus namun malah membuatku tak nyaman.
Menu yang ditampilkan pun lebih
tak masuk akal. Hanya ada kopi Lombok yang ditulis besar─membuatku mau tak mau
memesan satu-satunya menu yang tersedia. Pelayan itu mengangguk sambil menulis
pesananku. Aku hanya menyernyit dibuatnya. Apa lagi yang ia catat?
“Tak akan lama,” ucapnya sambil
mengambil menu yang sudah tertutup. “Terlambat satu atau dua menit tidak akan
membuat istrimu marah.”
Aku terkejut. Pupil mataku
otomatis membesar melihat pelayan itu terus berjalan dan hilang di balik pintu.
Mulutku hampir terbuka lebar tak mengerti apa yang terjadi. Rasanya jantungku
baru saja jatuh ke lambung. Semua yang terjadi hanyalah aku masuk ke ruangan
ini tanpa sepatah katapun lalu pria itu secara spontan ada di sebelahku
membawakan buku menu. Lalu bagaimana ia tahu bahwa aku sedang menunggu istriku?
Jujur saja, aku benar-benar merinding sekarang. Apalagi dengan kesunyian yang
tidak wajar ini. Aku baru saja beranjak dan berniat meninggalkan tempat ini
ketika angin kencang berhembus dan mendorongku kembali ke kursi.
“JANGAAAANN!!!”
Sebuah jeritan terdengar
melengking entah dari mana asalnya. Aku kontan menoleh ke segala arah untuk
mencari sumber suara tersebut. Suaranya diikuti dengan isak tangis yang semakin
jelas. Lama kelamaan muncul suara lain yang membuatku lebih merasa seperti di
pasar daripada di sebuah kafe asing yang sepi pelanggan. Ramai sekali. Rasa
takut semakin menjalar ke ubun-ubun. Manusia mana yang tidak ketakutan ketika
mendengar suara-suara bersautan tanpa ada seorangpun di sekelilingnya.
“Makanya, cobain!”
Suatu suara semakin jelas. Tetapi
tidak ada jawaban, hanya tangisan. Kupingku tiba-tiba saja terasa panas.
Kepalaku sakit. Aku mengenal suara ini─atau lebih tepatnya, aku membencinya.
Aku tidak mungkin lupa pada suara yang mengancamku dengan keji. Suara dari
seseorang yang pernah menghancurkan masa mudaku.
Semuanya pun kembali senyap.
Hanya suara motor yang baru saja lewat di belakang dinding. Pelayan itu pun
sudah kembali dan berada di sebelahku. Ia seakan menungguku untuk menoleh dan
melihat senyumnya lagi agar ia meletakkan pesanannya. Rasanya aku ingin
bertanya soal bagaimana ia tahu tentang istriku, tetapi mungkin keluar dari
tempat ini adalah pilihan yang terbaik.
Pelayan itu menepuk bahuku.
“Minumlah, kau akan mengerti.”
Seperti dihipnotis, aku
menurutinya begitu saja dan menyeruput kopi pahit tersebut tanpa menabur
gulanya. Kepalaku malah terasa melayang sekarang. Pandanganku mulai kabur.
Deretan meja dan kursi kayu yang berwarna monoton itu tampak berubah menjadi
bangku-bangku plastik usang berwarna jingga dan sebuah meja panjang yang catnya
sudah berantakan.
Sedetik kemudian mataku kembali
jelas. Aku berada di tempat lain, pastinya bukan kafe itu lagi. Di sebelah
kananku banyak bilik-bilik warung yang hanya dibatasi oleh anyaman, namun tak
ada satupun penjual yang biasanya menjajakan beragam jenis gorengan dan makanan
kecil lain. Hanya ada sekelompok anak sekolah yang pakaiannya sudah berantakan.
Mereka mengelilingi seseorang. Salah satu dari mereka mengikat tangan orang
tersebut agar ia tidak lari, sedangkan seseorang di depannya tampak sedang
bersiap untuk melempar sebuah sepatu ke dalam tong yang penuh dengan nyala api.
Aku ingat kejadian ini. Aku
mengenal semua orang yang ada di sini. Aku kenal anak yang terikat tak berdaya
itu, Ya, dia adalah aku sendiri. Aku menggigit lidahku sendiri melihat reka
ulang kejadian ini. Sedangkan pelayan itu masih di sana, ikut menontoni masa
laluku yang sedang diperlakukan tidak manusiawi.
Aku menutup telingaku, tak kuat
dengan berbagai caci maki dan kata-kata kotor yang mereka lontarkan sambil
menyodoriku rokok linting yang berisi ganja. Aku tak mau, aku tetap menolaknya
walau mereka sudah memukulku berkali-kali. Akhirnya mereka jengah dan membawaku
ke luar area kantin.
“Apa-apaan ini?!” Tanyaku
setengah membentak dan membanting meja. Tanganku gemetar. Pelayan itu masih
dengan senyum yang sekarang kuyakin dibuat-buat itu.
“Saya hanya ingin membantu anda.”
Jawabnya singkat namun tak menjawab pertanyaanku.
“Tolong kembalikan saya ke kafe yang
tadi. Saya harus menjemput istri saya.”
Namun ia tak menjawab lagi. Aku
mencoba bangkit namun tidak bisa seperti ada yang menahan kakiku di lantai.
Sedetik kemudian mejaku bergetar hebat sampai-sampai kopinya hampir tumpah jika
saja aku tidak mengangkatnya.
“Minumlah, Pak. Tenangkan diri
anda.”
Aku semakin kesal dibuatnya. Baru
saja aku berniat untuk membentaknya lagi, tiba-tiba rasanya seperti ada yang
mendorongku serta meja dan bangku yang kududuki dengan kekuatan yang amat
besar. Aku merasa seperti terperosok ke jurang yang amat dalam. Tak sampai
kedipan mata, aku sudah berada di rumahku yang dulu. Sebuah bangunan kecil yang
dindingnya tidak bercat lagi. Hanya bata-bata yang terlihat mulai rapuh,
dihimpit oleh rumah lain di sisi kanan dan kirinya. Gelap.
Jam di tanganku menunjukkan bahwa
aku sudah lima belas menit berada di masa laluku sendiri. Sunyi. Sempat tidak
ada suatu suara pun hingga terdengar sebuah hentakkan kaki dari ujung gang.
Seorang anak dengan pakaian sekolah yang amat lusuh berjalan hampir seperti
menyeret sepatunya sendiri. Ia tampak amat kelelahan─dan putus asa.
Aku masih ingat ketika aku dibawa
ke sebuah gudang di bawah tangga oleh murid-murid berandal. Aku memang berhasil
menolak lintingan ganja mereka dan sepatuku dilemparkan kembali padaku. Tapi
setelah itu aku di bawa ke aula belakang sekolah dan aku dikunci sendirian di
sana. Tak ada cahaya sama sekali. Tak ada harapan. Jika bisa memilih mungkin
lebih baik aku mati daripada ketakutan seperti ini.
Di dalam kehampaan itu, aku
mendengar benturan benda keras dan tiang listrik yang menggema. Aku hanya bisa
menggedor-gedor pintu kayu yang menghalangiku untuk keluar, berharap yang
barusan adalah manusia dan ia mau menolongku. Benar saja, ternyata ia adalah
petugas keamanan yang sedang berkeliling. Aku terselamatkan.
Anak lusuh yang tadi mengetuk
pintu rumahnya. Sempat tidak ada yang menjawab karena lampu ruangan juga sudah
padam. Anak itu mengetuk lagi, tapi kali ini lebih pelan. Tak lama kemudian
terdengar suara kunci terbuka dari dalam. Seorang wanita yang sudah berumur
namun masih tetap cantik dan belum beruban membuka pintunya sedikit, lalu
mempersilakan anak itu untuk masuk.
Pelayan di sampingku memegang
pundakku seperti menawarkanku untuk ikut melihat kelanjutannya di dalam. Aku
hanya memberi tanda menolak dengan tangaku. Ia tak mengambil tindakan egois
kali ini. Setidaknya ia tidak mendorongku seenaknya lagi. Bagus lah.
Aku menungu di luar. Suasana pun kembali
sunyi hingga lampu rumah tiba-tiba terang. Ada lagi yang terbangun. Itu adalah
ayahnya. Aku tahu persis apa yang terjadi di dalam. Ayahnya marah besar. Tidak
ada yang ingat jam berapa tepatnya anak itu sampai di rumah. Beliau menuduh
anaknya terlibat dalam aktifitas jahat. Anaknya tak bisa mengelak. Penampilannya
memang seperti baru saja kalah dari tawuran pelajar. Selain itu, ia tak mungkin
mengadu. Pasti akan ada insiden kedua jika ia berani buka mulut.
Plakk!! Suara tamparan terdengar
cukup keras. Aku juga baru sadar jika suara itu dapat terdengar sampai ke luar
rumah. Cukup sakit untuk diingat, bahkan tanpa sadar aku meraba pipi kiriku
walau sudah tak ada bekas di sana. Lama aku terdiam sendiri meratapinya hingga
pelayan itu mendorong kursiku hingga meluncur menembus pintu dan masuk tepat di
depan kasur anak yang barusan. Aku tahu ia masih menangis. Nafasnya belum
beraturan. Ia tahu kejadian ini hanyalah salah paham antara dirinya dan
ayahnya, namun ia tetap merasa sakit hati karena orang tuanya tak percaya.
Padahal selama ini ia sudah menunjukkan baktinya.
“Siapa namamu?” tanyaku ketika
pelayan itu masuk dan berdiri lagi di sampingku.
“Aku Leo. Aku bertugas menghilangkan
dendam dan penyesalan dalam hati manusia.”
“Apa kau melakukannya pada semua
orang?”
“Tidak juga.” Matanya kembali
beralih ke tempat tidur. Anak itu berbalik menghadap ke arah kami. Ia sudah
terlelap, namun air matanya belum kering. Ada raut kelelahan, ketakutan, juga
kekecewaan. Sepertinya tidur memang satu-satunya hal yang ia butuhkan untuk
bisa lari dari kenyataan.
Tiba-tiba ayahnya datang. Ia
berdiri persis di depanku, menatapi anaknya dari jauh. Beberapa detik kemudian
ia duduk di samping ranjang anaknya, mengelap wajahnya yang kotor dan penuh
memar. Aku sempat tak percaya dengan apa yang kulihat; sebuah potongan kejadian
yang tidak pernah kusaksikan. Ayahnya menangis di sana, sedikit sesegukan namun
tidak bersuara. Sedangkan ibunya hanya melihatnya dari daun pintu.
“Maafkan ayah, Rio.” Ucapnya
dengan nafas tak beraturan. “Ayah menyesal dengan perlakuan ayah barusan.
Maafkan ayah yang sudah menjadikan kamu pelampiasan kelelahan dan kemarahan
ayah. Kamu anak baik, Rio. Kamu pantas mendapatkan segala hal yang lebih baik,
maafkan ayah yang tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anak terbaik ayah.
Maafkan ayah yang tanpa sadar sering menuntut ketaatan lebih darimu. Maafkan
ayah yang sering mengekangmu, melarangmu melakukan banyak hal di masa mudamu
yang hanya sekali. Itu semua ayah lakukan agar kamu dapat memiliki kehidupan
yang jauh lebih baik. Agar kamu tidak salah dalam bertindak dan mengambil
keputusan. Agar kamu selalu dalam lindungan-Nya. Terima kasih atas kasih
sayangmu kepada ayah dan ibu, Rio. Kami dapat merasakannya Semoga Tuhan
membalas baktimu. Semoga ayah dan ibu dapat terus membahagiakanmu juga.”
Ayahnya memeluk Rio yang
kesadarannya sudah berada di alam mimpi. Ibunya hanya dapat ikut menangis haru
dari kejauhan. Dadaku pun rasanya ikut sesak. Air mata ikut menggedor ujung-ujung
kelopak mataku. Kasih sayang mereka selama puluhan tahun terakhir yang kuabaikan
hanya karena kejadian malam ini rasanya berbondong-bondong membuat hatiku sesak
oleh kebahagiaan.
Aku semakin menangis ketika aku
melihat potongan kenangan lain ketika ayahku pulang membawa sebungkus besar
kopi setelah ia pulang dari pekerjaannya selama 2 tahun di Lombok. Beliau
terlihat sangat senang karena dapat memberikanku oleh-oleh yang banyak dari
tempat yang jauh. Namun aku hanya tersenyum kecil hampir tak peduli. Bahkan
ketika ia menyeduh 2 gelas kopi untuk kami berdua, aku tak pernah menghabiskan
bagianku. Hatiku sedikit sakit melihatnya, aku menyesal. Aku rindu ayahku.
Leo mengelus pelan punggungku.
“Minumlah, Pak Rio. Itu adalah kopi yang diberikan oleh ayah anda dulu.
Rasakanlah. Nikmatilah. Hilangkan penyesalan anda. Lepas sekat yang membatasi
hati anda dan mereka. Sayangi kembali kedua orang tua anda. Sayangi ayah anda.
Penuhi kembali hati anda dengan ketaatan. Temuilah, dan doakan keduanya.”
Aku tertegun mendengar
penjelasannya. Aku meminum kopiku yang masih penuh. Namun kali ini rasanya
manis; sangat manis walau aku belum sedikitpun menambahkan gula. Kopi yang
dibauri cinta yang tertahan selama bertahun-tahun. Kopi yang menggantikan
amarah dengan kasih sayang.
Aku memejamkan mataku, merasakan
nikmat tak terlihat di tenggorokanku, memenuhi kepalaku dengan berbagai memori
indah yang kulewatkan, menyelimutiku dalam perasaan yang hangat dan nyaman. Aku
pun membuka mataku dan aku sudah berada di depan sebuah minimarket. Bangku dan
meja kayu bernuansa mewah tadi berganti dengan bangku besi. Namun kebahagiaan
itu masih tertinggal. Semuanya terasa begitu nyata.
Andin melambai dari sebrang jalan
sambil tersenyum ke arahku. Aku membalas lambaiannya dan bangkit dari kursiku.
Tapi cangkir dan kopinya yang sudah habis masih di sana; di atas meja. Aku
mengeluarkan pulpen dari saku dan secarik kertas sebelum pergi. Terima kasih atas kopi dan tur penuh
keharuannya, Leo, tulisku.
**Blog post ini dibuat
dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan
oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
22 May, 2016
Kok Gue Begini-gini Aja Ya?
Hi guys, been a long time.
Ternyata udah hampir 3 tahun ya gue berhenti ngeblog! Muahahaha. Gue bahkan sempet panik juga karena lupa sama email yang gue pake buat blogging. LOL. Sempet ada kendala pula untuk bisa masuk. Tapi, yah... Here I am right now, writing again.
Oh, ya. Pas gue liat-liat di statistik blog, ternyata walau gue tinggal 3 kali puasa 3 kali lebaran, blog ini tetep rame dikunjungi banyak visitor, loh! Terutama post tentang tips mengatasi jerawat--asli dari pengalaman gue sendiri. In case you are curious or having the same problem, here's the link.
Baiklah jadi kali ini ada sesuatu hal yang gue rasa harus gue share. A short one. Hmm... pertama-tama, gue akan mengungkapkan alasan kenapa kali ini gue kembali ke blog. Tanya kenapa? Karena gue rasa selama ini medsos kurang pas buat menyampaikan pendapat. Sekarang medsos rata-rata dipake cuma buat pamer makanan, pamer lokasi sama pamer pacar. Hanjirrr, gue yang masih jomblo dan tiap hari makan di warteg mau ngepost apaan?! Hah??!! Wakakak
Jadi ceritanya setelah gue mengembara selama 3 tahun lebih mengambil kitab suci ke barat (wkwkwk) gue mendapat banyak banget pelajaran hidup. Begonya, gue gak pernah sadar... until this very point of time. Gue akhirnya menyadari bahwa kata-kata, "Tuhan tidak akan menguji umat-Nya di luar batas kemampuannya" itu ada benernya juga.
Bukan, gue bukan mau sok religius. Gue cuma ngerasa gue punya kewajiban untuk menyampaikannya ke temen-temen gue di luar sana. Inget bro, kekuatan yang besar mendatangkan kewajiban yang besar. Dan kekuatan yang baru gue dapet kali ini adalah pemahaman mengenai bagaimana cara kita menyikapi apa yang Tuhan telah berikan.
Jadi... gue mulai darimana ya jiahahah
Oh, ya! Kalian pernah gak sih ngerasa kayak, "Ih, kok hidup gue begini-gini aja, ya?" atau kayak, "Aduh, hidup dia kok kayaknya enak ya. Udah cakep, pinter, banyak duit, subur lagi. Liat aja tuh anaknya ada sembilan. Gue punya pacar aja belum!"
Nah, yang kedua itu kalo elo bandingin hidup lo sama kucingnya Ratu Elizabeth wkwkwk
Jadi guys, kalo kalian pernah berkata seperti itu, artinya kalian masih manusia! Gue pribadi adalah tipe orang dengan ekspektasi yang tinggi terhadap masa depan gue. Dengan sombongnya, gue sering ngerasa kalo potensi gue tuh di atas rata-rata kebanyakan orang. Sayangnya, gue orangnya juga males! Jadi, akibat pola pikir gue yang gak sinkron dengan kelakuan gue itu, gue malah sering bertanya, "Kenapa hidup gue begini-gini aja, ya?"
Inget kata-kata gue di atas, guys. Tuhan gak akan memberikan cobaan yang melampaui batas makhluk-Nya. Tapi, Tuhan juga tidak akan memberikan rezeki yang melampaui kemampuan makhluk-Nya. Udah mulai ngerti 'kan arah pembicaraan gue kali ini?
Mungkin secara sederhana, kalo kita berpikir, mana mungkin sih kita nolak rezeki? Mana mungkin sih ada rezeki yang gak mampu kita tampung? Itu juga manusiawi guys, kita itu punya keinginan yang tidak ada batasnya. Bahkan hal itu juga diakui di teori-teori ekonomi. Jadi wajar kalo kita berharap untuk memiliki materi yang banyak, atau berpikir kita pasti bisa menampung sebanyak apapun rezeki yang Tuhan berikan. Gue juga begitu.
Tapi, akhirnya gue berpikir seperti ini; Tuhan memberikan rezeki itu bukan berdasarkan kapasitas keinginan kita, tapi menurut kapasitas tanggung jawab yang kita bisa pikul. Gue kutip lagi, "Di balik kekuatan yang besar, datang kewajiban yang besar pula."
Tuhan memberikan rezeki berdasarkan peran yang kita dapat mainkan di dunia ini, guys.
Jika kita, sebagai contoh, ingin menjadi presiden. Anggap lah menjadi presiden itu adalah rezeki yang kita ingin miliki. Itu artinya kita harus tau, tanggung jawab presiden itu besar. Kewajibannya juga besar. Apa kita udah punya kekuatan yang bisa menjadikan kita seorang presiden? Atau, kalo Tuhan menghendaki kita saat ini juga menjadi seorang presiden, apa kita mampu?
Itu adalah hal yang beberapa kali terjadi sama gue. Gue kasih contoh satu, ya.
Dulu, waktu SMA cita-cita gue udah gak kayak waktu kecil; mau jadi pilot lah, atau jadi dokter, lah. Dulu jaman SMA gue cuma pengen ikut pertukaran pelajar ke luar negeri. Bahkan kalo bisa jujur, keinginan itu masih ada sampe sekarang. Simpel lah, karena gue menganggap itu adalah hal yang keren. Selain itu, gue cinta lingkungan dan segala sesuatu di sekitar gue. Gue pengen berkontribusi dalam hal-hal sosial berskala besar. Gue selalu berpikir, kalo kita punya kewajiban sebagai duta sosial, kita akan punya kekuatan untuk mengubah lingkungan menjadi lebih baik.
Gue rasa pemikiran gue gak begitu salah. Dengan kewajiban sebesar itu, kita pasti diberi wewenang yang juga cukup besar. Wewenang itu adalah kekuatan kita. Tapi nyatanya, pemikiran gue juga gak sepenuhnya benar. Justru, harusnya kita berpikir sebaliknya. Kalau kita gak cukup kuat, bagaimana kita bisa dipercaya Tuhan untuk memenggam kewajiban dan kekuatan yang lebih besar lagi? Dalam game aja, kita gak bisa ke lantai 30 kalo kita gak bisa ngalahin bos di lantai 1 sampe lantai 29.
Singkat cerita, gue mendaftar beberapa kali ke program pertukaran pelajar ke Eropa dan Amerika. Hasilnya? Gue ditolak, guys. LOL. Ternyata emang gak mudah. Bahkan gue denger ada yang mendaftar sampe 30 kali sampe akhirnya dia diterima kuliah di luar negeri, gratis semuanya! Sedangkan gue, bahkan mungkin belom sampe 10 lamaran.
Pelajaran yang gue petik apa? Tuhan gak memberikan gue rezeki yang belom bisa gue lahap. Gue belom cukup pinter dan bahkan mungkin niat gue belom cukup bulat. Tuhan mungkin tau bahwa gue nanti akan ada kesulitan di sana. Tuhan mungkin tau kalo peran tersebut belom cocok buat gue, seenggaknya untuk saat ini. Jadi artinya ada stage-stage tertentu yang masih harus gue lalui dan lakukan buat sampe ke titik "kepantasan" tersebut.
Dan, kalo kalian bener-bener pernah ditantang sama Tuhan, gue lagi mengalaminya sekarang. Ditantang ya, bukan ditentang. Amit-amit kena banned dari surga wkwkw
Minggu depan gue ada lomba. Percayalah kawan, ini lomba yang dadakan banget. Udah gitu, ini adalah bidang yang belom gue kuasai sama sekali. Begitulah mungkin cara Tuhan membuat skenario. Kita mau ke panggung A, tapi Tuhan malah menyediakan kita tangga untuk naik ke panggung B. Jadi, kalo begini, kita gak bisa lagi bertanya, "Kok hidup gue begini-gini aja sih?"
Jawabannya udah jelas, "Kitanya yang gak pernah bersiap diri."
Trus, Tuhan pasti bertanya ke gue sekarang, "Kalau kamu menang nanti, apa kamu siap menjadi panutan?"
Mau gak mau, gue cuma bisa bertekad di dalam hati, "Gue harus mempersiapkan diri". Karna kalo gak siap, gue gak bakal dikasih menang sama Tuhan. Gue gak bakal bisa naik ke level berikutnya. Pada akhirnya, gue bakal begini-gini aja terus.
Setidaknya gue udah berusaha semampu gue. Apapun hasil yang akan gue dapet, itu adalah pertimbangan terbaik Tuhan.
Ini yang menyadarkan gue, guys. Selama ini gue hidup tanpa kemajuan ya karena kemalesan gue sendiri. Kita gak bisa menjadi luar biasa kalo kita gak mau atau malu melakukan hal yang luar biasa. Sekarang ada kesempatan emas, karena kemalesan gue di masa lalu, gue terancam gak bisa memenangkan challenge dari Tuhan ini.
Intinya, yuk manfaatkan semua potensi yang ada di diri kita. Yuk melakukan yang terbaik di setiap aktifitas kita. Karena kita gak pernah tau, aktifitas mana yang akan mendatangkan peluang besar untuk masa depan kita. Dan tak lupa, kita juga harus tetap berhusnudzon.
Tentunya, gue ngomong kayak gini bukan untuk menggurui. Gue cuma sharing. Dan cuma dengan cara kayak begini, gue bisa sambil ngajarin diri gue sendiri untuk lebih termotivasi dan bersyukur.
Semoga menginspirasi. Semoga minggu depan gue bisa tampil maksimal.
Salam Super! Mario Maurer. Wkwkwk
Ternyata udah hampir 3 tahun ya gue berhenti ngeblog! Muahahaha. Gue bahkan sempet panik juga karena lupa sama email yang gue pake buat blogging. LOL. Sempet ada kendala pula untuk bisa masuk. Tapi, yah... Here I am right now, writing again.
Oh, ya. Pas gue liat-liat di statistik blog, ternyata walau gue tinggal 3 kali puasa 3 kali lebaran, blog ini tetep rame dikunjungi banyak visitor, loh! Terutama post tentang tips mengatasi jerawat--asli dari pengalaman gue sendiri. In case you are curious or having the same problem, here's the link.
Baiklah jadi kali ini ada sesuatu hal yang gue rasa harus gue share. A short one. Hmm... pertama-tama, gue akan mengungkapkan alasan kenapa kali ini gue kembali ke blog. Tanya kenapa? Karena gue rasa selama ini medsos kurang pas buat menyampaikan pendapat. Sekarang medsos rata-rata dipake cuma buat pamer makanan, pamer lokasi sama pamer pacar. Hanjirrr, gue yang masih jomblo dan tiap hari makan di warteg mau ngepost apaan?! Hah??!! Wakakak
Jadi ceritanya setelah gue mengembara selama 3 tahun lebih mengambil kitab suci ke barat (wkwkwk) gue mendapat banyak banget pelajaran hidup. Begonya, gue gak pernah sadar... until this very point of time. Gue akhirnya menyadari bahwa kata-kata, "Tuhan tidak akan menguji umat-Nya di luar batas kemampuannya" itu ada benernya juga.
Bukan, gue bukan mau sok religius. Gue cuma ngerasa gue punya kewajiban untuk menyampaikannya ke temen-temen gue di luar sana. Inget bro, kekuatan yang besar mendatangkan kewajiban yang besar. Dan kekuatan yang baru gue dapet kali ini adalah pemahaman mengenai bagaimana cara kita menyikapi apa yang Tuhan telah berikan.
Jadi... gue mulai darimana ya jiahahah
Oh, ya! Kalian pernah gak sih ngerasa kayak, "Ih, kok hidup gue begini-gini aja, ya?" atau kayak, "Aduh, hidup dia kok kayaknya enak ya. Udah cakep, pinter, banyak duit, subur lagi. Liat aja tuh anaknya ada sembilan. Gue punya pacar aja belum!"
Nah, yang kedua itu kalo elo bandingin hidup lo sama kucingnya Ratu Elizabeth wkwkwk
Jadi guys, kalo kalian pernah berkata seperti itu, artinya kalian masih manusia! Gue pribadi adalah tipe orang dengan ekspektasi yang tinggi terhadap masa depan gue. Dengan sombongnya, gue sering ngerasa kalo potensi gue tuh di atas rata-rata kebanyakan orang. Sayangnya, gue orangnya juga males! Jadi, akibat pola pikir gue yang gak sinkron dengan kelakuan gue itu, gue malah sering bertanya, "Kenapa hidup gue begini-gini aja, ya?"
Inget kata-kata gue di atas, guys. Tuhan gak akan memberikan cobaan yang melampaui batas makhluk-Nya. Tapi, Tuhan juga tidak akan memberikan rezeki yang melampaui kemampuan makhluk-Nya. Udah mulai ngerti 'kan arah pembicaraan gue kali ini?
Mungkin secara sederhana, kalo kita berpikir, mana mungkin sih kita nolak rezeki? Mana mungkin sih ada rezeki yang gak mampu kita tampung? Itu juga manusiawi guys, kita itu punya keinginan yang tidak ada batasnya. Bahkan hal itu juga diakui di teori-teori ekonomi. Jadi wajar kalo kita berharap untuk memiliki materi yang banyak, atau berpikir kita pasti bisa menampung sebanyak apapun rezeki yang Tuhan berikan. Gue juga begitu.
Tapi, akhirnya gue berpikir seperti ini; Tuhan memberikan rezeki itu bukan berdasarkan kapasitas keinginan kita, tapi menurut kapasitas tanggung jawab yang kita bisa pikul. Gue kutip lagi, "Di balik kekuatan yang besar, datang kewajiban yang besar pula."
Tuhan memberikan rezeki berdasarkan peran yang kita dapat mainkan di dunia ini, guys.
Jika kita, sebagai contoh, ingin menjadi presiden. Anggap lah menjadi presiden itu adalah rezeki yang kita ingin miliki. Itu artinya kita harus tau, tanggung jawab presiden itu besar. Kewajibannya juga besar. Apa kita udah punya kekuatan yang bisa menjadikan kita seorang presiden? Atau, kalo Tuhan menghendaki kita saat ini juga menjadi seorang presiden, apa kita mampu?
Itu adalah hal yang beberapa kali terjadi sama gue. Gue kasih contoh satu, ya.
Dulu, waktu SMA cita-cita gue udah gak kayak waktu kecil; mau jadi pilot lah, atau jadi dokter, lah. Dulu jaman SMA gue cuma pengen ikut pertukaran pelajar ke luar negeri. Bahkan kalo bisa jujur, keinginan itu masih ada sampe sekarang. Simpel lah, karena gue menganggap itu adalah hal yang keren. Selain itu, gue cinta lingkungan dan segala sesuatu di sekitar gue. Gue pengen berkontribusi dalam hal-hal sosial berskala besar. Gue selalu berpikir, kalo kita punya kewajiban sebagai duta sosial, kita akan punya kekuatan untuk mengubah lingkungan menjadi lebih baik.
Gue rasa pemikiran gue gak begitu salah. Dengan kewajiban sebesar itu, kita pasti diberi wewenang yang juga cukup besar. Wewenang itu adalah kekuatan kita. Tapi nyatanya, pemikiran gue juga gak sepenuhnya benar. Justru, harusnya kita berpikir sebaliknya. Kalau kita gak cukup kuat, bagaimana kita bisa dipercaya Tuhan untuk memenggam kewajiban dan kekuatan yang lebih besar lagi? Dalam game aja, kita gak bisa ke lantai 30 kalo kita gak bisa ngalahin bos di lantai 1 sampe lantai 29.
Singkat cerita, gue mendaftar beberapa kali ke program pertukaran pelajar ke Eropa dan Amerika. Hasilnya? Gue ditolak, guys. LOL. Ternyata emang gak mudah. Bahkan gue denger ada yang mendaftar sampe 30 kali sampe akhirnya dia diterima kuliah di luar negeri, gratis semuanya! Sedangkan gue, bahkan mungkin belom sampe 10 lamaran.
Pelajaran yang gue petik apa? Tuhan gak memberikan gue rezeki yang belom bisa gue lahap. Gue belom cukup pinter dan bahkan mungkin niat gue belom cukup bulat. Tuhan mungkin tau bahwa gue nanti akan ada kesulitan di sana. Tuhan mungkin tau kalo peran tersebut belom cocok buat gue, seenggaknya untuk saat ini. Jadi artinya ada stage-stage tertentu yang masih harus gue lalui dan lakukan buat sampe ke titik "kepantasan" tersebut.
Dan, kalo kalian bener-bener pernah ditantang sama Tuhan, gue lagi mengalaminya sekarang. Ditantang ya, bukan ditentang. Amit-amit kena banned dari surga wkwkw
Minggu depan gue ada lomba. Percayalah kawan, ini lomba yang dadakan banget. Udah gitu, ini adalah bidang yang belom gue kuasai sama sekali. Begitulah mungkin cara Tuhan membuat skenario. Kita mau ke panggung A, tapi Tuhan malah menyediakan kita tangga untuk naik ke panggung B. Jadi, kalo begini, kita gak bisa lagi bertanya, "Kok hidup gue begini-gini aja sih?"
Jawabannya udah jelas, "Kitanya yang gak pernah bersiap diri."
Trus, Tuhan pasti bertanya ke gue sekarang, "Kalau kamu menang nanti, apa kamu siap menjadi panutan?"
Mau gak mau, gue cuma bisa bertekad di dalam hati, "Gue harus mempersiapkan diri". Karna kalo gak siap, gue gak bakal dikasih menang sama Tuhan. Gue gak bakal bisa naik ke level berikutnya. Pada akhirnya, gue bakal begini-gini aja terus.
Setidaknya gue udah berusaha semampu gue. Apapun hasil yang akan gue dapet, itu adalah pertimbangan terbaik Tuhan.
Ini yang menyadarkan gue, guys. Selama ini gue hidup tanpa kemajuan ya karena kemalesan gue sendiri. Kita gak bisa menjadi luar biasa kalo kita gak mau atau malu melakukan hal yang luar biasa. Sekarang ada kesempatan emas, karena kemalesan gue di masa lalu, gue terancam gak bisa memenangkan challenge dari Tuhan ini.
Intinya, yuk manfaatkan semua potensi yang ada di diri kita. Yuk melakukan yang terbaik di setiap aktifitas kita. Karena kita gak pernah tau, aktifitas mana yang akan mendatangkan peluang besar untuk masa depan kita. Dan tak lupa, kita juga harus tetap berhusnudzon.
Tentunya, gue ngomong kayak gini bukan untuk menggurui. Gue cuma sharing. Dan cuma dengan cara kayak begini, gue bisa sambil ngajarin diri gue sendiri untuk lebih termotivasi dan bersyukur.
Semoga menginspirasi. Semoga minggu depan gue bisa tampil maksimal.
Salam Super! Mario Maurer. Wkwkwk
Subscribe to:
Posts (Atom)