21 August, 2016

Sayang yang Terlewat

**Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com


Rasanya jalanan ibukota sedang begitu bersahabat beberapa hari belakangan ini. Mungkin karena hari kemerdekaan Indonesia tahun ini jatuh pada hari Rabu esok, jadi banyak yang memilih berlibur ke luar kota sejak akhir pekan minggu lalu; termasuk anakku sendiri. Ia berangkat ke Malang bersama teman-teman kuliahnya dan baru akan kembali lusa.
Sebenarnya aku sedikit khawatir. Kalian pasti mengerti ‘kan bagaimana pergaulan remaja saat ini? Bukannya aku kolot, tapi aku justru lebih tahu pola pikir anak muda karena aku pernah sekali mengalaminya. Terutama rasa penasaran mereka. Maksudku, rasa penasaran bisa membimbing siapapun ke arah yang buruk. Apalagi tanpa pengawasan orang terdekat mereka.
Aku yakin aku sudah mencoba mendidik anakku sebaik mungkin, dan memang Tommy selama ini cukup cemerlang dalam pendidikannya. Sepengetahuanku, ia juga cukup disegani oleh teman-teman sebayanya. Ia bahkan ditunjuk menjadi seorang duta remaja oleh dinas setempat. Ah, apa aku yang terlalu berlebihan sebagai seorang ayah? Padahal ia sudah dewasa, tapi kadang aku masih sering mengekangnya seperti anak sekolah dasar.
Dulu ketika aku seumuran dengan anakku saat ini, ayahku sering melarangku untuk pulang malam dengan berbagai macam alasan. Rasanya masih sangat segar di ingatanku ketika ayah mengacungkan jarinya agar aku mendengarkan peringatannya untuk pulang sebelum jam sepuluh malam. Aku bahkan ingat alur bicara ayah ketika menasihatiku di pagi berikutnya jika aku pulang terlalu larut. Beliau sering menyelipkan cerita dan pengalamannya agar aku mengerti semua larangannya─bahwa semuanya demi keamananku. Aku tentu hanya mengangguk.
Hingga pada akhirnya, aku mulai merasakannya sendiri seiring dengan bertambah dewasanya Tommy. Aku terkadang malah menjadi merasa serba salah. Aku hanya tak ingin anakku satu-satunya mengambil arah yang tidak seharusnya diambil, tapi di sisi lain aku juga tahu bagaimana menjengkelkannya jika orang tua terlalu membatasi ruang gerak anaknya.
Aku bukannya mau balas dendam atas perlakuan ayahku kepada anakku sendiri, hal itu tak akan pernah terjadi. Aku sangat mencintai Tommy. Namun aku hanya takut ia terjebak dalam pergaulan yang buruk. Bayangkan saja bagaimana minuman beralkohol mudah sekali didapat pada masa sekarang ini dan bagaimana seks bebas bahkan sudah menjadi budaya bagi golongan tertentu.
Untung saja ada aroma biskuit yang menyebar di seluruh ruang kabin mobil. Ini adalah aroma kesukaan istriku, walau kuakui aku juga menyukainya. Wanginya sangat menenangkan. Bisa dibilang aroma ini adalah jimat bagi kepalaku yang kadang kesurupan dan memikirkan hal-hal aneh. Apalagi bagi orang-orang di kota besar yang menghabiskan sebagian waktunya di jalan sendirian karena macet.
Ah, itu dia! Taman kanak-kanak Al-Huda, tempat istriku memuaskan hobinya; mengajar. Terasnya cukup ramai dipenuhi oleh para orang tua murid yang sedang menjemput anak mereka. Sedangkan di dalam ruang kelas terlihat istriku Andin masih semangat berkeliling kelas sambil mengontrol para balita yang masih menggambar. Maklum, ini sudah jam 10 dan kelas akan selesai setengah jam lagi.
Aku baru sadar bahwa ada sebuah kafe di ujung jalan tak jauh dari tempatku berdiri. Cat dinding dan jendela kayunya yang masih mengkilap seakan menandakan bahwa tempat tersebut baru saja dibuka. Cukup aneh sebenarnya, karena walau aku baru sebulan pindah harusnya aku tahu jika ada tempat seperti itu di daerah sini.
Saat kulihat jam tangan, kupikir sekedar minum segelas kopi dan sepotong kue di sana tak akan memakan waktu yang lama, jadi aku putuskan untuk berjalan ke kafe tersebut. Tempat itu sendiri terlihat memiliki tema arsitektur tradisional. Begitu aku memasuki daerah terasnya, nuansa Betawi terasa cukup kental dengan kursi dan pagar kayu kokohnya yang dicat cokelat, kontras dengan dindingnya yang putih bersih. Dua tiang penyangga atap menambah kesan gagah pada bangunan ini. Di langit-langitnya terdapat dua kipas angin besar yang berputar pelan. Cuma hiasan, pikirku.
Bagian dalamnya justru lebih menarik lagi. Ada beberapa lukisan besar yang bingkainya didesain seperti motif batik mega mendung. Kebanyakan lukisan yang hanya menggambarkan suasana alam yang hijau, kecuali lukisan Nyi Roro Kidul di dekat pintu masuk ini. Lukisannya terlihat sangat nyata. Ditambah adanya suara air terjun dari speaker kecil di atasnya menambah kesan hidup pada lukisan tersebut.
Mataku pun tertuju pada suatu bangku besar bak singgasana raja yang diletakkan di ujung sana. Tempatnya tak lagi beratap karena sepertinya berada di halaman belakang kafe. Lantainya pun berganti dengan rumput hijau. Tampak juga air mancur berukuran sedang di tengah-tengah area berumput yang berkilau memantulkan cahaya matahari. Ketika kududuki, bangkunya cukup keras karena bokongku langsung bersentuhan dengan kayu jati. Namun entah kenapa terasa begitu nyaman. Apa mungkin karena aku mencium sedikit wangi lavender di sini?
Saat aku mulai memfokuskan diriku dari hal-hal menarik ini, aku baru sadar bahwa aku adalah satu-satunya pengunjung. Tempat ini terlalu sunyi bahkan untuk sebuah kafe yang baru dibuka. Meja resepsionis pun kosong dan hanya terdapat beberapa alat tulis dan alat pembayaran elektronik. Aku malah sedikit merinding ketika angin sejuk yang lewat seperti mendesis di telingaku. Kakiku pun malah terasa basah seperti tidak ada sepatu di sana.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?”
Tiba-tiba saja seorang lelaki muda berada di sampingku sambil memegang sebuah catatan kecil dan buku menu yang langsung ia letakkan di atas meja. Ia tersenyum sambil melihatku. Ia benar-benar menunggu berdiri di sana seperti mendesakku untuk segera membuka menu dan memesan makanan. Aku pun menjadi canggung sendiri. Senyumnya terlihat tulus namun malah membuatku tak nyaman.
Menu yang ditampilkan pun lebih tak masuk akal. Hanya ada kopi Lombok yang ditulis besar─membuatku mau tak mau memesan satu-satunya menu yang tersedia. Pelayan itu mengangguk sambil menulis pesananku. Aku hanya menyernyit dibuatnya. Apa lagi yang ia catat?
“Tak akan lama,” ucapnya sambil mengambil menu yang sudah tertutup. “Terlambat satu atau dua menit tidak akan membuat istrimu marah.”
Aku terkejut. Pupil mataku otomatis membesar melihat pelayan itu terus berjalan dan hilang di balik pintu. Mulutku hampir terbuka lebar tak mengerti apa yang terjadi. Rasanya jantungku baru saja jatuh ke lambung. Semua yang terjadi hanyalah aku masuk ke ruangan ini tanpa sepatah katapun lalu pria itu secara spontan ada di sebelahku membawakan buku menu. Lalu bagaimana ia tahu bahwa aku sedang menunggu istriku? Jujur saja, aku benar-benar merinding sekarang. Apalagi dengan kesunyian yang tidak wajar ini. Aku baru saja beranjak dan berniat meninggalkan tempat ini ketika angin kencang berhembus dan mendorongku kembali ke kursi.
“JANGAAAANN!!!”
Sebuah jeritan terdengar melengking entah dari mana asalnya. Aku kontan menoleh ke segala arah untuk mencari sumber suara tersebut. Suaranya diikuti dengan isak tangis yang semakin jelas. Lama kelamaan muncul suara lain yang membuatku lebih merasa seperti di pasar daripada di sebuah kafe asing yang sepi pelanggan. Ramai sekali. Rasa takut semakin menjalar ke ubun-ubun. Manusia mana yang tidak ketakutan ketika mendengar suara-suara bersautan tanpa ada seorangpun di sekelilingnya.
“Makanya, cobain!”
Suatu suara semakin jelas. Tetapi tidak ada jawaban, hanya tangisan. Kupingku tiba-tiba saja terasa panas. Kepalaku sakit. Aku mengenal suara ini─atau lebih tepatnya, aku membencinya. Aku tidak mungkin lupa pada suara yang mengancamku dengan keji. Suara dari seseorang yang pernah menghancurkan masa mudaku.
Semuanya pun kembali senyap. Hanya suara motor yang baru saja lewat di belakang dinding. Pelayan itu pun sudah kembali dan berada di sebelahku. Ia seakan menungguku untuk menoleh dan melihat senyumnya lagi agar ia meletakkan pesanannya. Rasanya aku ingin bertanya soal bagaimana ia tahu tentang istriku, tetapi mungkin keluar dari tempat ini adalah pilihan yang terbaik.
Pelayan itu menepuk bahuku. “Minumlah, kau akan mengerti.”
Seperti dihipnotis, aku menurutinya begitu saja dan menyeruput kopi pahit tersebut tanpa menabur gulanya. Kepalaku malah terasa melayang sekarang. Pandanganku mulai kabur. Deretan meja dan kursi kayu yang berwarna monoton itu tampak berubah menjadi bangku-bangku plastik usang berwarna jingga dan sebuah meja panjang yang catnya sudah berantakan.
Sedetik kemudian mataku kembali jelas. Aku berada di tempat lain, pastinya bukan kafe itu lagi. Di sebelah kananku banyak bilik-bilik warung yang hanya dibatasi oleh anyaman, namun tak ada satupun penjual yang biasanya menjajakan beragam jenis gorengan dan makanan kecil lain. Hanya ada sekelompok anak sekolah yang pakaiannya sudah berantakan. Mereka mengelilingi seseorang. Salah satu dari mereka mengikat tangan orang tersebut agar ia tidak lari, sedangkan seseorang di depannya tampak sedang bersiap untuk melempar sebuah sepatu ke dalam tong yang penuh dengan nyala api.
Aku ingat kejadian ini. Aku mengenal semua orang yang ada di sini. Aku kenal anak yang terikat tak berdaya itu, Ya, dia adalah aku sendiri. Aku menggigit lidahku sendiri melihat reka ulang kejadian ini. Sedangkan pelayan itu masih di sana, ikut menontoni masa laluku yang sedang diperlakukan tidak manusiawi.
Aku menutup telingaku, tak kuat dengan berbagai caci maki dan kata-kata kotor yang mereka lontarkan sambil menyodoriku rokok linting yang berisi ganja. Aku tak mau, aku tetap menolaknya walau mereka sudah memukulku berkali-kali. Akhirnya mereka jengah dan membawaku ke luar area kantin.
“Apa-apaan ini?!” Tanyaku setengah membentak dan membanting meja. Tanganku gemetar. Pelayan itu masih dengan senyum yang sekarang kuyakin dibuat-buat itu.
“Saya hanya ingin membantu anda.” Jawabnya singkat namun tak menjawab pertanyaanku.
“Tolong kembalikan saya ke kafe yang tadi. Saya harus menjemput istri saya.”
Namun ia tak menjawab lagi. Aku mencoba bangkit namun tidak bisa seperti ada yang menahan kakiku di lantai. Sedetik kemudian mejaku bergetar hebat sampai-sampai kopinya hampir tumpah jika saja aku tidak mengangkatnya.
“Minumlah, Pak. Tenangkan diri anda.”
Aku semakin kesal dibuatnya. Baru saja aku berniat untuk membentaknya lagi, tiba-tiba rasanya seperti ada yang mendorongku serta meja dan bangku yang kududuki dengan kekuatan yang amat besar. Aku merasa seperti terperosok ke jurang yang amat dalam. Tak sampai kedipan mata, aku sudah berada di rumahku yang dulu. Sebuah bangunan kecil yang dindingnya tidak bercat lagi. Hanya bata-bata yang terlihat mulai rapuh, dihimpit oleh rumah lain di sisi kanan dan kirinya. Gelap.
Jam di tanganku menunjukkan bahwa aku sudah lima belas menit berada di masa laluku sendiri. Sunyi. Sempat tidak ada suatu suara pun hingga terdengar sebuah hentakkan kaki dari ujung gang. Seorang anak dengan pakaian sekolah yang amat lusuh berjalan hampir seperti menyeret sepatunya sendiri. Ia tampak amat kelelahan─dan putus asa.
Aku masih ingat ketika aku dibawa ke sebuah gudang di bawah tangga oleh murid-murid berandal. Aku memang berhasil menolak lintingan ganja mereka dan sepatuku dilemparkan kembali padaku. Tapi setelah itu aku di bawa ke aula belakang sekolah dan aku dikunci sendirian di sana. Tak ada cahaya sama sekali. Tak ada harapan. Jika bisa memilih mungkin lebih baik aku mati daripada ketakutan seperti ini.
Di dalam kehampaan itu, aku mendengar benturan benda keras dan tiang listrik yang menggema. Aku hanya bisa menggedor-gedor pintu kayu yang menghalangiku untuk keluar, berharap yang barusan adalah manusia dan ia mau menolongku. Benar saja, ternyata ia adalah petugas keamanan yang sedang berkeliling. Aku terselamatkan.
Anak lusuh yang tadi mengetuk pintu rumahnya. Sempat tidak ada yang menjawab karena lampu ruangan juga sudah padam. Anak itu mengetuk lagi, tapi kali ini lebih pelan. Tak lama kemudian terdengar suara kunci terbuka dari dalam. Seorang wanita yang sudah berumur namun masih tetap cantik dan belum beruban membuka pintunya sedikit, lalu mempersilakan anak itu untuk masuk.
Pelayan di sampingku memegang pundakku seperti menawarkanku untuk ikut melihat kelanjutannya di dalam. Aku hanya memberi tanda menolak dengan tangaku. Ia tak mengambil tindakan egois kali ini. Setidaknya ia tidak mendorongku seenaknya lagi. Bagus lah.
Aku menungu di luar. Suasana pun kembali sunyi hingga lampu rumah tiba-tiba terang. Ada lagi yang terbangun. Itu adalah ayahnya. Aku tahu persis apa yang terjadi di dalam. Ayahnya marah besar. Tidak ada yang ingat jam berapa tepatnya anak itu sampai di rumah. Beliau menuduh anaknya terlibat dalam aktifitas jahat. Anaknya tak bisa mengelak. Penampilannya memang seperti baru saja kalah dari tawuran pelajar. Selain itu, ia tak mungkin mengadu. Pasti akan ada insiden kedua jika ia berani buka mulut.
Plakk!! Suara tamparan terdengar cukup keras. Aku juga baru sadar jika suara itu dapat terdengar sampai ke luar rumah. Cukup sakit untuk diingat, bahkan tanpa sadar aku meraba pipi kiriku walau sudah tak ada bekas di sana. Lama aku terdiam sendiri meratapinya hingga pelayan itu mendorong kursiku hingga meluncur menembus pintu dan masuk tepat di depan kasur anak yang barusan. Aku tahu ia masih menangis. Nafasnya belum beraturan. Ia tahu kejadian ini hanyalah salah paham antara dirinya dan ayahnya, namun ia tetap merasa sakit hati karena orang tuanya tak percaya. Padahal selama ini ia sudah menunjukkan baktinya.
“Siapa namamu?” tanyaku ketika pelayan itu masuk dan berdiri lagi di sampingku.
“Aku Leo. Aku bertugas menghilangkan dendam dan penyesalan dalam hati manusia.”
“Apa kau melakukannya pada semua orang?”
“Tidak juga.” Matanya kembali beralih ke tempat tidur. Anak itu berbalik menghadap ke arah kami. Ia sudah terlelap, namun air matanya belum kering. Ada raut kelelahan, ketakutan, juga kekecewaan. Sepertinya tidur memang satu-satunya hal yang ia butuhkan untuk bisa lari dari kenyataan.
Tiba-tiba ayahnya datang. Ia berdiri persis di depanku, menatapi anaknya dari jauh. Beberapa detik kemudian ia duduk di samping ranjang anaknya, mengelap wajahnya yang kotor dan penuh memar. Aku sempat tak percaya dengan apa yang kulihat; sebuah potongan kejadian yang tidak pernah kusaksikan. Ayahnya menangis di sana, sedikit sesegukan namun tidak bersuara. Sedangkan ibunya hanya melihatnya dari daun pintu.
“Maafkan ayah, Rio.” Ucapnya dengan nafas tak beraturan. “Ayah menyesal dengan perlakuan ayah barusan. Maafkan ayah yang sudah menjadikan kamu pelampiasan kelelahan dan kemarahan ayah. Kamu anak baik, Rio. Kamu pantas mendapatkan segala hal yang lebih baik, maafkan ayah yang tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anak terbaik ayah. Maafkan ayah yang tanpa sadar sering menuntut ketaatan lebih darimu. Maafkan ayah yang sering mengekangmu, melarangmu melakukan banyak hal di masa mudamu yang hanya sekali. Itu semua ayah lakukan agar kamu dapat memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Agar kamu tidak salah dalam bertindak dan mengambil keputusan. Agar kamu selalu dalam lindungan-Nya. Terima kasih atas kasih sayangmu kepada ayah dan ibu, Rio. Kami dapat merasakannya Semoga Tuhan membalas baktimu. Semoga ayah dan ibu dapat terus membahagiakanmu juga.”
Ayahnya memeluk Rio yang kesadarannya sudah berada di alam mimpi. Ibunya hanya dapat ikut menangis haru dari kejauhan. Dadaku pun rasanya ikut sesak. Air mata ikut menggedor ujung-ujung kelopak mataku. Kasih sayang mereka selama puluhan tahun terakhir yang kuabaikan hanya karena kejadian malam ini rasanya berbondong-bondong membuat hatiku sesak oleh kebahagiaan.
Aku semakin menangis ketika aku melihat potongan kenangan lain ketika ayahku pulang membawa sebungkus besar kopi setelah ia pulang dari pekerjaannya selama 2 tahun di Lombok. Beliau terlihat sangat senang karena dapat memberikanku oleh-oleh yang banyak dari tempat yang jauh. Namun aku hanya tersenyum kecil hampir tak peduli. Bahkan ketika ia menyeduh 2 gelas kopi untuk kami berdua, aku tak pernah menghabiskan bagianku. Hatiku sedikit sakit melihatnya, aku menyesal. Aku rindu ayahku.
Leo mengelus pelan punggungku. “Minumlah, Pak Rio. Itu adalah kopi yang diberikan oleh ayah anda dulu. Rasakanlah. Nikmatilah. Hilangkan penyesalan anda. Lepas sekat yang membatasi hati anda dan mereka. Sayangi kembali kedua orang tua anda. Sayangi ayah anda. Penuhi kembali hati anda dengan ketaatan. Temuilah, dan doakan keduanya.”
Aku tertegun mendengar penjelasannya. Aku meminum kopiku yang masih penuh. Namun kali ini rasanya manis; sangat manis walau aku belum sedikitpun menambahkan gula. Kopi yang dibauri cinta yang tertahan selama bertahun-tahun. Kopi yang menggantikan amarah dengan kasih sayang.
Aku memejamkan mataku, merasakan nikmat tak terlihat di tenggorokanku, memenuhi kepalaku dengan berbagai memori indah yang kulewatkan, menyelimutiku dalam perasaan yang hangat dan nyaman. Aku pun membuka mataku dan aku sudah berada di depan sebuah minimarket. Bangku dan meja kayu bernuansa mewah tadi berganti dengan bangku besi. Namun kebahagiaan itu masih tertinggal. Semuanya terasa begitu nyata.
Andin melambai dari sebrang jalan sambil tersenyum ke arahku. Aku membalas lambaiannya dan bangkit dari kursiku. Tapi cangkir dan kopinya yang sudah habis masih di sana; di atas meja. Aku mengeluarkan pulpen dari saku dan secarik kertas sebelum pergi. Terima kasih atas kopi dan tur penuh keharuannya, Leo, tulisku.

**Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com